Jumat, 30 Maret 2012

Zaid Bin Tsabit ra : ‘Penghimpun Al-Qur’an’


E-mail Print PDF

Jika anda membawa Al-Qur’an dengan tangan kanan, lalu menelusurinya dengan teliti – surah demi surah, ayat demi ayat – maka ketahuilah bahwa orang yang telah berjasa besar dan patut Anda beri ucapan terima kasih atas karya besar ini adalah seorang tokoh besar bernama Zaid bin Tsabit. Peristiwa-peristiwa pengumpulan Al-Qur’an sampai menjadi satu mushaf (buku), tidak terpisahkan dari nama besar ini. 
Ia termasuk kaum Anshar. Sewaktu Rasulullah saw. menginjakkan kaki di Madinah, usianya baru 11 tahun. Anak kecil ini masuk islam bersama keluarganya dan pernah di doakan oleh Rasulullah saw. Doa Rasulullah saw. merupakan sebuah penghargaan dan keutamaan tersendiri yang diidamkan umat islam. 
Ia dibawa oleh orang tuanya berangkat ke perang Badr, namun Rasulullah saw. melarangnya ikut bertempur karena usia dan tubuhnya yang masih kecil. Di perang Uhud, bersama rekan-rekan sebayanya, ia menghadap Rasulullah saw. dengan mengiba agar beliau mengijinkan mereka ikut perang. Bahkan, keluarga mereka juga turut mengiba kepada Rasulullah saw. agar mereka diperkenankan ikut perang. Rasulullah saw. melayangkan pandangannya ke para penunggang kuda ini. Ada rasa bangga tersirat di wajah beliau. Namun tampaknya, kali ini, beliau juga tidak akan mengijinkan mereka untuk bergabung dalam pasukan perang. Zaid dan rekan-rekannya baru mulai ikut bertempur dalam perang Khandaq, tahun 5H. Keimanan Zaid tumbuh dengan cepat dan menakjubkan. Dia tidak hanya menonjol di medan perang, tetapi juga sebagai ilmuwan dengan berbagai keistimewaan. Ia hafal Al-Qur’an dan menulis wahyu yang turun kepada Nabi saw. Ia unggul di bidang ilmu dan hikmah. Tatkala Rasulullah mulai melakukan ekspansi dakwah keluar Madinah dan mengirim surat ajakan masuk Islam kepada para raja, beliau menyuruh Zaid belajar bahasa mereka. Dan hanya dalam waktu yang singkat , Zaid sudah bisa menguasai bahasa mereka. Sosok Zaid terus bersinar . Dihormati dan dimuliakan. 
Sa’bi berkata,”Pada suatu hari, Zaid hendak pergi berkendaraan, maka Ibnu Abbas memegang tali kendali kudanya. Zaid berkata,’Tidak  usah, wahai sepupu Rasulullah.’ Ibnu Abbas menjawab,’Seperti inilah yang kami lakukan terhadap ulama kami’.” 
Qabishah berkata, “Di Madinah, Zaid menjadi ketua dewan peradilan, ketua dewan fatwa, ketua tim pembaca Al-Qur’an, dan ketua tim pembagi harta warisan.” 
Tsabit bin Ubaid berkata,”Aku belum pernah mengenal orang seperti Zaid. Dirumahnya, ia suka bercanda dan di majelis taklimnya ia sangat dihormati.”  
Ibnu Abbas berkata,”Para sahabat terkemuka sudah mengetahui kalau keilmuan Zaid bin Tsabit sangat menonjol.” 
Puji-pujian di atas semakin menambah deretan panjang keistimewaan yang dimiliki Zaid, ia memang menyimpan kemuliaan tersendiri. Ia mengemban tugas paling penting dan paling mulia dalam sejarah islam, yaitu menghimpun Al-Qur’an. 
Wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah saw. merupakan tanda pengangkatan beliau sebagai pemberi peringatan. Wahyu ini berisi ayat-ayat berikut:Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(Al-’Alaq: 1-5)   
Semenjak itu, wahyu terus menyertai Rasulullah saw. setiap kali beliau memohon petunjuk dan bimbingan. Selama masa kerasulan itu, kurang lebih 22 tahun Alqur’an turun ayat demi ayat sesuai kebutuhan dan situasi yang dihadapi. Para penghafal dan penulis Al-Qur’an itu mencurahkan segenap perhatiannya. Al-Qur’an tidak turun sekaligus, karena Al-Qur’an bukan buku atau artikel. Akan tetapi, Al-Qur’an adalah pedoman bagi umat baru yang dibangun secara alami-sejengkal demi sejengkal-dari waktu ke waktu. Membangun akidah, membersihkan hati, mengembangkan pola pikir, dan menguatkan tekad sesuai kehendak Allah. Mereka menerima kehendak ini sepenuh hati tanpa mencari-cari alasan. Karena itulah, Al-Qur’an turun secara bertahap dan sebagian-sebagian untuk mengikuti jalan hidup, situasi yang berubah-ubah, dan permasalahan yang ada. 
Jumlah sahabat yang menghafal dan menulis Al-Qur’an cukup banyak. Di antara yang terkemuka adalah Ali bin Abu Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan seorang tokoh mulia yang sedang kita bicarakan sekarang, yaitu Zaid bin Tsabit - semoga Allah ridha kepada mereka semua. 
Sesudah Al-Qur’an turun dengan sempurna, di masa-masa terakhir kenabian, Rasulullah saw. membacakannya kepada kaum muslimin secara tersusun surat demi surat, ayat demi ayat. Setelah Rasulullah saw. wafat dan di gantikan oleh Abu Bakar ra. sebagai Khalifah, terjadi pemberontakan yang berujung pada perang Riddah. Di pertempuran Yamamah, banyak penghafal Al-Qur’an yang gugur sebagai syahid. Oleh sebab itu, Umar bin Khattab ra. segera menghadap Khalifah Abu Bakar ra. mengusulkan penghimpunan Al-Qur’an sebelum semua penghafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. 
Khalifah meminta bimbingan Allah, dan juga meminta para pendapat para tokoh muslimin. Kemudia, ia memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya,”Kamu amsih muda dan cerdas. Kami tidak berburuk sangka kepadamu.”Lalu, Zaid diperintahkan untuk menghimpun Al-Qur’an dengan meminta bantuan para penghafal lainnya. 
Zaid mulai melakukan tugas yang menentukan masa depan Islam. Segala upaya dan pengorbanan ia curahkan untuk menyelesaikan tugas paling agung dan berat ini. Ia himpun ayat demi ayat, surah demi surah, dari para penghafal Al-Qur’an dan dari lembaran-lembaran yang ada dengan sangat teliti hingga Al-Qur’an terhimpun semuanya dan tersusun rapi. Hasil kerjanya mendapat persetujuan dari para sahabat yang telah mendengarkan Al-Qur’an langsung dari Nabi semasa hidupnya, terutama para penghafal dan penulis Al-Qur’an. 
Zaid pernah melukiskan kesulitan menjalankan tugas mulia dan agung ini, ”Demi Allah, seandainya mereka memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, itu lebih mudah bagiku daripada menghimpun Al-Qur’an.” Zaid tidak suka apabila ia melakukan kesalahan sekecil apapun dalam menyalin ayat atau menyusunnya dalam satu surah. Zaid selalu berada dalam bimbingan Allah dan jaminan yang dijanjikan-Nya,”Sesungguhnya, kami menurunkan peringatan (Al-Qur’an), dan sesungguhnya, Kami akan memeliharanya.” (Al-Hijr:9). Maka Zaid dapat melaksanakan tugas penting ini dengan sebaik-baiknya.   
Inilah tahapan pertama penghimpunan Al-Qur’an. Al-Qur’an tersalin dalam beberapa mushaf. Antara mushaf yang satu dengan mushaf yang lain ada sedikit perbedaan, meskipun tidak esensial. Seiring perjalanan waktu, peristiwa yang terjadi dilapangan mengharuskan sahabat menjadikan Al-Qur’an hanya satu mushaf. Pada pemerintahan Khalifah Utsmanra., kaum muslimin terus melanjutkan ekspansi dakwahnya, sehingga mereka semakin jauh dari kota Madinah. Disamping itu, gelombang manusia yang masuk Islam semakin banya, bahasa dan dialek mereka pun makin beragam. Saat itulah perbedaan mushaf menimbulkan perbedaan cara baca terhadap Al-Qur’an, bahkan terjadi perbedaan cara baca antara para sahabat generasi tua dengan kalangan muda. Karena itulah, sejumlah sahabat yang dipimpin oleh Hudzaifah bin Yaman menghadap Khalifah Utsman ra., dan mengusulkan pentingnya penyatuan Al-Qur’an. 
Sebagaimana Khalifah Abu Bakar ra., Khalifah Utsman ra. juga menugaskan Zaid bin Tsabit. Zaid mengumpulkan rekan-rekannya. Mereka mengambil beberapa mushaf yang selama ini sengaja disimpan di rumah Hafshah binti Umar (istri Rasulullah). Bersama rekan-rekannya, Zaid memulai tugas berat dan mulia ini. Mereka yang bersama Zaid melaksanakan tugas ini adalah para penulis dan penghafal Al-Qur’an. Hampir tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka. Kalaulah ada, mereka menjadikan Zaid sebagai pedoman.   
Sekarang saat kita membaca Al-Qur’an dengan mudah, atau sedang mendengarkan Al-Qur’an dibacakan dengan benar, kita sama sekali tidak berpikir bahwa ada kesulitan besar yang dihadapi oleh para penghimpun Al-Qur’an di masa lalu. Sungguh, kesulitan yang mereka hadapi sama persis dengan kesulitan di medan perang untuk menegakkan kalimat Allah dan menghancurkan kegelapan dengan cahaya Ilahi.  
-Wallaahu'alam bish showab- 
Disarikan dari Buku "60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW", karya Khalid Muhammad Khalid 
 
Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al Insyirah:5-6).